Part 3
Ikhwati fillah, pada bagian sebelumnya saya telah mengulas periode ketiga dan keempat dari biografi Sang Penakluk wilayah timur: Qutaybah bin Muslim Al Bahily. Dalam dua periode tersebut, Qutaybah berhasil menundukkan wilayah yang demikian luas, meliputi Samarqand, Syash, Farghana dan Kasygar. Hanya saja karena keterbatasan tempat, kisah penaklukan Kasygar belum saya bahas, oleh karena itu, dalam bagian ketiga ini saya akan membahasnya.
Kita masih ingat bahwa Khalifah Walid bin Abdil Malik pernah mengirim surat kepada Qutaybah yang berisi pujian dan dukungan darinya agar Qutaybah melanjutkan misinya. Nah, ternyata surat tersebut memberi kesan yang sangat positif bagi Qutaybah… ia ibarat api yang membakar semangat Qutaybah dan memantapkan tekadnya untuk melanjutkan ekspansi. Maka segeralah Qutaybah bergerak dari Merw menuju kota Kasygar, kota yang terdekat dengan Imperium Cina. Pada bulan Jumada Tsani tahun 96 H, sampailah berita mangkatnya Khalifah Walid bin Abdul Malik kepada Qutaybah yang saat itu sedang berada di Farghana dan belum sampai ke Kasygar. Pun demikian, ia tetap melanjutkan ekspedisinya hingga berhasil menaklukkan kota tersebut. Qutaybah terus melaju hingga tiba di perbatasan Cina, maka Kaisar Cina menulis surat kepadanya agar ia mengirim seorang utusan dari orang yang terpandang untuk ditanyai tentang agamanya.
Maka Qutaybah memilih sepuluh atau dua belas orang yang paling terpandang dari tiap kabilah. Mereka memiliki rupa yang tampan, badan yang tegap, lisan yang fasih sekaligus keberanian. Qutaybah menunjuk Hubairah bin Musyamrij Al Kilabi sebagai pemimpin mereka karena kefasihannya dalam berbicara… ia berkata kepada Hubairah: “Ya Hubairah, apa yang hendak kau perbuat nanti?”
“Semoga Allah memperbaiki tuan… Aku adalah orang yang jago berbicara, katakan saja apa yang Anda inginkan, pasti akan kusampaikan dan kulaksanakan” jawab Hubairah.
“Kalau begitu, bergeraklah dalam naungan berkat dan taufik Allah… jangan kalian tanggalkan sorban kalian hingga kalian sampai di negeri tujuan. Bila kalian telah menghadapnya, maka sampaikan bahwa aku telah bersumpah tidak akan kembali hingga menginjak negeri mereka, mengecap kepala raja-raja mereka dan mengambil upeti dari mereka” pesan Qutaybah.
Mereka pun berangkat dipimpin oleh Hubairah. Sesampainya di Cina, Kaisar menyuruh mereka untuk menghadap. Maka mereka segera masuk ke kamar mandi dan mengenakan dua lapis pakaian, yang luar berwarna putih. Kemudian memakai wewangian, selendang dan sepatu, lalu masuk menghadap Kaisar. Mereka menghadap Kaisar yang dikelilingi oleh para pembesarnya, lalu mereka duduk… Sang Kaisar belum mengajak mereka bicara, akan tetapi ia bertanya kepada para pembesarnya:
“Bagaimana pandangan kalian terhadap mereka?”
“Kami melihat suatu kaum yang tak lain adalah para wanita… Sungguh, begitu melihat mereka, tak tersisa seorang pun dari kami melainkan bangkit syahwatnya” jawab para pembesarnya.
Keesokan harinya, Sang Kaisar kembali menyuruh mereka datang menghadap. Maka segeralah mereka mengenakan pakaian bermotif, sorban dari sutera dan jubah bergaris, lalu menghadap Kaisar. Sang Kaisar pun bertanya kepada para pembesarnya:
“Bagaimana pandangan kalian terhadap mereka?”
“Penampilan ini lebih mirip dengan laki-laki dari pada yang sebelumnya… padahal mereka adalah orang-orang yang sama”, jawab para pembesarnya.
Pada hari ketiga, Sang Kaisar memanggil mereka kembali. Maka mereka memakai pakaian putih dan ketopong besi, dengan pedang di pinggang dan tombak di tangan. Lalu menunggangi kuda dan pergi menghadap Kaisar. Sang Kaisar memandang mereka laksana sebuah gunung yang menghampiri… begitu mereka mendekat, segeralah mereka tancapkan tombak-tombaknya lalu berjalan dengan penuh semangat. Maka diserulah agar mereka kembali karena Kaisar dan para pembesarnya ketakutan…
Mereka pun segera kembali setelah mengambil kembali tombak-tombaknya dan menunggangi kuda mereka dengan cepat seakan mengejar sesuatu. Maka Sang Kaisar berkata kepada para pembesarnya:
“Bagaimana mereka menurut kalian?”
“Sungguh, kami belum pernah melihat orang-orang seperti mereka!” jawab para pembesarnya.
Sore harinya, Sang Kaisar minta agar pimpinan mereka menghadapnya, maka berangkatlah Hubairah menghadap Sang Kaisar… lalu Sang Kaisar bertanya kepadanya:
“Kalian telah menyaksikan betapa besar kerajaanku, dan tak ada seorang pun yang dapat melindungi kalian selama kalian berada dalam kekuasaanku. Kalian tak ubahnya seperti sebutir telur dalam genggamanku… Aku akan menanyaimu tentang sesuatu, namun jika kamu tidak jujur maka akan kubunuh”.
“Silakan tanya”, jawab Hubairah.
“Mengapa bertingkah seperti itu di hari pertama, kedua dan ketiga?” tanya Kaisar.
“Penampilan kami di hari pertama, ialah penampilan kami saat bersama anak dan isteri kami… sedang di hari kedua adalah penampilan kami saat menghadap pemimpin kami… adapun hari ketiga adalah penampilah kami di hadapan musuh-musuh kami. Saat kami dikagetkan dan diserang, kami akan bertingkah seperti itu…” jawab Hubairah.
“Alangkah baiknya kalian dalam mengatur waktu kalau begitu… kembalilah kalian kepada pemimpin kalian dan suruh ia kembali, karena aku tahu bahwa ia demikian tamak sedang pasukannya amat sedikit, kalau tidak aku akan kirim pasukan untuk menumpas kalian” kata Sang Kaisar.
Maka Hubairah menjawab: “Bagaimana anda katakan sedikit sebuah pasukan yang ujung terdepannya ada di negerimu, sedang akhirnya ada di Syam… dan bagaimana Anda katakan tamak orang yang meninggalkan dunia yang dikuasainya untuk datang memerangimu? Adapun ancaman Anda untuk membunuh kami, maka kami memiliki ajal yang bila tiba…yang paling kami sukai adalah mati dibunuh, kami sama sekali tidak membenci dan takut kepadanya”.
“Lalu, apa yang bisa membuat pemimpinmu ridha?” tanya Sang Kaisar.
“Ia telah bersumpah untuk tidak kembali hingga menginjak negerimu, mengecap kepala raja-rajamu, dan memungut upeti darimu”, jawab Hubairah.
“Baiklah, kami akan penuhi sumpahnya… kami akan kirimkan setumpuk tanah dari negeri kami agar ia menginjaknya, lalu kami kirimkan anak-anak kami agar ia mengecap kepala mereka dan kami berikan upeti yang ia sukai” kata Sang Kaisar.
Maka ia pun minta diambilkan sebuah nampan dari emas yang di atasnya ada setumpuk tanah, lalu mengirim kain sutera dan emas serta empat orang putera para pembesar mereka, kemudian memberi para utusan tersebut hadiah-hadiah yang berharga dan mereka berangkat menghadap Qutaybah. Qutaybah pun menerima kiriman tersebut, ia mengecap kepala anak-anak tadi dan menginjakkan kakinya di atas tanah tersebut.[1]
Dengan begitu, Qutaybah telah berhasil menggentarkan Kekaisaran Cina, yang merupakan suatu kekuasaan besar di masa itu, dan menunjukkan kehebatan Islam di mata mereka… dan seiring dengannya, berakhirlah serangkaian penaklukkan Qutaybah selama ini.
Itulah Qutaybah bin Muslim, panglima perang hebat dan politikus ulung… segala kesulitan berhasil ia tundukkan dan segudang permasalahan ia tanggulangi. Tekadnya tak pernah goyah, dan semangatnya tak pernah padam karena sulitnya perjalanan atau cuaca yang tak bersahabat… itulah tekad dan tujuan yang mulia, dan demikianlah Allah menolong setiap hamba yang ikhlas dalam memperjuangkan Agamanya.
Selain kegigihan dalam berjihad, Qutaybah dan orang-orang yang bersamanya juga gigih mendakwahkan Islam dan mengeluarkan orang-orang dari kegelapan kekafiran kepada cahaya Islam. Ia menaruh perhatian cukup besar atas pembangunan masjid di setiap kota dan desa. Di mesjid-mesjid itu ia mengkader para ulama dan fuqaha agar kelak mereka mendidik dan mengajari masyarakat tentang Islam. Qutaybah juga membangun pemukiman untuk kaum muslimin di tengah-tengah pemukiman penduduk asli agar mereka melihat langsung bagaimana akhlak dan kehidupan kaum muslimin, seperti yang diterapkan di Bukhara. Benar, dengan interaksi langsung semacam itu ia berhasil menonjolkan Islam dan menghapus sisa-sisa kekafiran dan tradisi majusi.
Di Bukhara ia membangun masjid jami’ dan memerintahkan kaum muslimin melaksanakan shalat Jum’at di dalamnya. Selain itu, Qutaybah juga menggunakan metode lain untuk menarik orang kepada Islam, yaitu dengan menugaskan seorang penyeru untuk menyerukan setiap hari Jum’at, bahwa siapa yang datang ke mesjid untuk shalat berjama’ah akan mendapat dua dirham. Metode ini adalah cara baru di kala itu untuk menarik orang kepada Islam.
Lebih dari itu, dalam pasukannya terdapat sejumlah ulama seperti Muhammad bin Wasi’, Al Qadhi Yahya bin Ya’mur dan Dhahhak bin Muzahim, yang terkenal dengan tafsirnya. Tentu orang-orang sekaliber mereka sangat besar jasanya dalam penyebaran Islam, bahkan konon Muhammad bin Wasi’ bersaing dengan Qutaybah dalam pembangunan mesjid.
Pesatnya penyebaran Islam di daerah tersebut juga cepatnya mereka berbahasa Arab. Karena perinta Qutaybah untuk membangun mesjid-mesjid tadi tidak terbatas sebagai sarana shalat berjama’ah saja, akan tetapi juga sebagai tempat kajian ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadits dan sebagainya, yang dibimbing oleh para da’i dan ulama.[2]
Demikianlah ikhwati fillah, insya Allah pada tulisan berikutnya saya akan menuntaskan biografi sang tokoh beserta sejumlah pelajaran yang bisa kita petik darinya, jazakumullah khairan atas waktu yang antum luangkan…
Wassalaam…
Maraji`:
1-Tarikh Ath Thabari.
2-Umar bin Abdul Aziz, oleh Ali Shallabi.
Artikel asli: https://basweidan.com/qutaybah-bin-muslim-al-bahili/